Memilih Jalan Sepi. Tak Ada Spotlight di Tahun Politik Ini

Tahun ini adalah tahun yang sangat reflektif. Banyak perbincangan dan suara yang tidak ditinggikan nadanya, sebab cukup sudah rasanya dibicarakan dalam hati saja. Tahun ini terasa seperti retreat. Jalan sepi yang memang sengaja dipilih untuk bercengkerama lagi dengan diri yang sesungguhnya.

Ditengah hingar bingar politik tahun ini, belum sedikit pun saya mengeluarkan pendapat.

Ketika semua orang mulai membicarakan pilihannya masing-masing dan pandangan mereka terhadap masa depan Indonesia di bawah presiden yang nanti terpilih, saya justru memilih diam. Jangankan bicara tentang memilih siapa. Membahas situasi pun keresahan tentang linimasa yang makin riuh saja tak pernah. Rasanya seperti hidup di orbit lain yang jauh lebih tenang. Jauh lebih bisa memberi jeda untuk berpikir panjang.

Kenapa? Kok tidak bersuara? Memangnya kamu memihak ke siapa?

Bagaimanapun, pendapat bisa jadi bias bagi independensi

Tahun ini Hipwee mengusung campaign #PemiluPertamaku yang menyasar ke pemilih pemula. Bersuara, menunjukan keberpihakan pada salah satu paslon bisa memudarkan kepercayaan user. Sebagai media independen yang tidak terikat pun diuntungkan oleh siapapun yang kelak menang, menjaga netralitas jauh lebih penting.

Ya gimana…..masyarakat kita di masa ini mudah sekali melabeli. Konten senetral apapun bisa dianggap sebagai perpanjangan tangan cebong atau kampret. Huft.

Demi menjaga independensi dan menjaga supaya pemilih pertama yang membaca Hipwee tidak terpengaruh pendapat apapun, diam adalah pilihan yang paling terhormat saat ini.

Perjuangan demi masa depan bangsa sekarang digarap pada tubuh Janitra

I choose to talk small. Taking care of the little things. Such as taking care of my family.

Ibu adalah pembuat dan eksekutor kebijakan terbaik di dunia. Setelah hadirnya Kimi saya jadi sadar kalau tak perlulah berbuat banyak. Mengubah bangsa sekarang bisa saya mulai dari ranah keluarga kecil saya sendiri.

Siapapun yang terpilih, harga listrik pasti akan naik lagi. Lebih baik sekarang saya pastikan anak saya bisa tumbuh jadi anak cerdas. Supaya kelak bisa membuat terobosan lewat energi listrik terbarukan.

Siapapun yang terpilih, tak ada jaminan HAM akan dijunjung tinggi. Lebih baik sekarang saya pastikan anak saya tumbuh dengan welas asih. Ciptakan damai di hatinya supaya mereka yang berbeda bisa dia terima.

Kita sedang mudah tantrum lalu memutus hubungan. Diam adalah sebuah kebijaksanaan

Siapa yang merasa salah pilih circle pertemanan karena banyak yang baper tentang pemilu tahun ini?

Atau sudah ingin keluar dari grup keluarga?

Tenang…..kamu nggak sendirian. ME TOOO!!!!

Daripada menghancurkan hubungan yang sudah saya bangun bertahun-tahun dan saya jaga sedemikian rupa cuma karena beda pandangan politik, diam adalah pilihan yang paling bijaksana.

Tidak bersuara bukan berarti tidak punya pilihan. Tidak bersuara juga bukan berarti tak punya kepedulian.

Bukankah cinta yang lantang sering kali justru cinta yang paling diam?

On Being Completely Alone

Tanpa terasa waktu berjalan sangat cepat. Sudah hampir setengah tahun saya benar-benar menikmati kesendirian. Dulu, setiap pulang kerja ada tempat yang menjadi tujuan untuk melepas lelah. Tapi kini, tak ada lagi yang perlu dicari di akhir hari yang panjang. Selepas pekerjaan tuntas, saya memacu kendaraan keluar kantor menuju satu tujuan pasti: rumah. Sesekali saya akan mampir ke kedai makanan untuk membungkus hidangan yang sudah terbayang di kepala sekian lama. Terkadang karena lapar, tapi lebih sering karena merasa perlu memberi hadiah pada diri sendiri setelah berhasil menuntaskan tumpukan kewajiban.

Terkadang, saya merasa “kering” sebab kini tak ada lagi orang yang bisa diajak berbagi tawa. Tidak ada lagi rekan yang bisa diajak bersenandung bersama saat kami mendengar lagu yang terputar di radio. Tidak ada lagi celoteh ngawur yang kadang jadi signature joke dan sumber olok-olokan. Saya tak lagi harus memesankan 2 es teh manis setiap makan bersama, pun tak perlu memesankan hidangan yang tak pedas demi kepentingannya. Dunia memang terasa berbeda. Selain pulsa dan baterai ponsel yang kini makin irit, semua hal bisa dijalani dengan cara saya tanpa harus mempertimbangkan pendapat orang lain.

Dari proses ini ternyata saya belajar ulang untuk menempatkan diri sendiri sebagai prioritas. Saya mulai kembali belanja banyak buku, membaca puisi yang terbit di koran hari Minggu, saya juga kembali mencomot jajanan favorit dari rak Indomaret dan Alfamart. Sesuatu yang memang saya inginkan. Bukan saya ambil karena memikirkan selera pasangan.

Merasa bebas? Jelas. Tapi rasa sendiri dan sepi juga jujur saja sering datang. Bagaimanapun, kehilangan dia seperti kehilangan sahabat yang bisa diajak bercerita tentang apa saja. Terlebih kini bolo dupak dan rencang sudah tersebar di berbagai kota demi meniti tangga kehidupannya masing-masing. Tapi, keadaan ini pula yang membuat saya mau tak mau harus belajar nyaman dengan diri sendiri. Jalan-jalan, belanja, sampai nonton seorang diri kini tak lagi aneh saya lakoni.

Saya merasa berubah. Sempat Ibu saya bilang, kini saya terasa lebih meninggikan tembok agar orang lain tak mengurusi urusan personal yang saya punya. Sempat menyangkal, tapi kini saya merasa itu ada benarnya. Kini saya memang lebih fokus pada apa yang saya mau. Apa yang saya inginkan. Berbeda dengan dulu, kini saya lebih memilih menutup telinga pada kata orang, kemudian benar-benar mengejar apa yang mau saya lakukan. Tak hanya itu. Hal yang hampir serupa juga terjadi pada bagaimana saya “mengurusi” kehidupan pribadi orang lain. Kini, sedekat apapun saya dengan seseorang — saya tak akan berusaha ikut campur urusan pribadinya. Selama tindakannya tak merugikan, saya hanya akan tutup mulut dan tetap berusaha menghargai.

Lebih baik atau burukkah perubahan ini? Orang-orang di sekeliling berhak punya pendapatnya sendiri. Ada yang bilang kini saya jadi lebih self-oriented ; namun ada pula yang justru merasa kini saya lebih tahu caranya memprioritaskan kebahagiaan pribadi. Apapun itu, saya yang sekarang sungguh-sungguh sendiri nampaknya sudah tak lagi percaya konsep “pasangan yang menggenapkan.”

21d9d971c6f0e45c696860d82c5f5df8

Barangkali kelak saya akan bertemu dia yang memang bisa membuat saya berhenti. Tapi, siapapun dia dan sedahsyat apapun ia membuat saya jatuh cinta, ia tak akan pernah bisa membuat saya utuh sebagai manusia. Saya-lah yang bertanggung jawab pada matangnya identitas saya sebagai pribadi.

Dengan atau tanpa pasangan, rasa sepi-canggung-pun upaya berdamai dengan diri sendiri akan terus saya lakoni. Dia yang datang selanjutnya seharusnya hanya memberi warna, bukannya diharapkan jadi pemberi jalan keluar bagi seluruh permasalahan yang ada.

Lagipula, itu pasangan apa tim ahli sih? Kok diminta solutif.

 

 

Yogyakarta, 2014. Setelah kekenyangan ngemil SkyWiz.

Sementara

Aku percaya, Tuhan tidak pernah main-main membukakan jalan. Walau terdengar seperti lelucon, berlebihan — namun ini memang jalanNya. JawabanNya atas doa-doa kita.

Sejenak hidup akan kutatap dengan nyinyir dan hanya jadi bahan tertawaan. Sementara, hati lebih memilih mengeras. Lelah dipenuhi drama yang kian tak jelas.

Hingga suatu saat nanti, dia yang baru akan mampu diterima lagi. Entah bisa kusayangi sedalam dirimu atau tidak, yang jelas kini aku hanya wajib terus melangkahkan kaki. Membenamkan diri pada pekerjaan, menyingkirkanmu dari pandangan.

Kau dan aku sama-sama layak atas perjalanan baru yang minus emosi.

Tanpa tangis dan egoisme. Tanpa tindakan dan kata-kata yang mengecewakan hati. Kita berhak menemukannya, yang akan hangat menyambut di ujung hari. Seseorang yang akan menyembuhkan semua babak belur hati ini. Nanti.

Medan perjuangan kita tak lagi di satu segitiga sama sisi.

Semoga berhasil, hingga kelak kita bertemu lagi.

Sebab JalanMu Sedemikian Sempurnanya Untuk Mampu Dibaca

Terkadang di malam-malam seperti sekarang aku terpekur mendapati bagaimana kehidupan berjalan selama ini. Anehnya, gilanya, bahagianya, kejutannya — semua. Sempat dahulu, beberapa saat aku merasa dilepas, seperti anak burung yang dibebaskan dari sangkar. Seakan tuan dan induknya tidak peduli pada kelangsungan nasibku. Hari hanya berjalan tanpa arah yang pasti. Rutinitas dijalani dengan hati yang tak terisi. Dulu, aku pernah menjalani hidup yang tak sedikitpun berani mencanangkan harapan tinggi.

Bagaimana kini? Bahagiakah?

Tentu saja tidak sepenuhnya. Aku masih menangis saat tak ada siapapun di sisi. Ditengah jam kerja kadang aku menyelinap ke lantai dua agar tak ada yang tahu air mata ini masih jatuh sendiri. Tapi aku pun merasa lepas. Merasa bebas. Tak ada lagi yang menghalangi. Meski sakitnya tetap terasa sampai ulu hati. Rindu? Pasti. Bahkan aku memilih untuk lebih lama membenamkan diri dalam pekerjaan agar tak punya waktu bengong seorang diri.Tak kupungkiri, bayangannya masih sulit terhapus dari sudut mata ini. Bahkan malam tadi aku memilih rute berbeda dari jalan pulang yang biasa kulewati untuk menemuinya di ujung hari.

Tapi ini adalah jawaban dari harapan yang dipanjatkan olehku, dan orang-orang disekitarku. Ini adalah jalanMu, yang telah dengan indah Kau atur demi kami. Tuhan, sungguh saat ini aku masih terlalu bodoh untuk mengerti kemana akan Kau bawa diriku. Tapi terima kasih sudah kembali, Tuhan. Terima kasih Kau tak pernah menutup mata dan pergi. Kini, ijinkan kami menangguhkan diri. Pasrah pada jalanMu yang tanpa cela ini.

 

Apapun yang menurutMu terbaik, tolong Tuhan, biarkan kami menjalani. 

 

2:216
2:216

 

Antara yang Diupayakan dan Tertakdirkan

Tuhan, dari mereka aku belajar tentang yang diupayakan dan yang tertakdirkan. Tak peduli sebuah impian diperjuangkan jungkir-balik, penuh air mata, berhias drama — bila memang Kau tak takdirkan — maka ujungnya tak akan mungkin terjamah jentik tangan.

Tuhan, aku belum tahu akan Kau apakan kami. Aku masih belum mengerti apa maksudMu memberiku kelapangan hati yang amat dekat dengan kebodohan macam ini. Bahkan aku tak paham maksudMu menahan langkahku terbang, menempatkanku disini sembari membuka pintu yang membawa angin segar bagi pengembangan diri.

Yang kutahu, rencanaMu tak pernah main-main. Apapun, Tuhan. Apapun yang akan terjadi, jadilah kehendakMu saja. Jadilah mauMu saja.

Cinta Pelok

Hari menjelang senja. Saya baru pulang dari lereng Merapi, setelah hampir setengah hari berjibaku melawan panas demi beberapa detik potongan video dan catatan wawancara dengan penduduk sekitar. Hati sempat tergerak untuk mampir ke kafe, duduk diam sendiri disana untuk menuntaskan tanggungan tulisan. Tapi entah kenapa sore ini saya hanya ingin cepat pulang. Selain sudah terlampau sering pulang malam, saya juga harus sedikit menghemat uang demi beberapa rencana perjalanan. Maka disinilah saya, duduk di kursi makan teras belakang. Menyumpal kuping sembari menulis. Ditengah ekstase magis jari tangan bertemu keyboard, tiba-tiba saya dikagetkan dengan suara, “Bruuuk!”. Ah, lagi-lagi mangga blasteran hasil stek Mama jatuh menghantam kanopi kolam.

Mangga matang pohon itu masih dibiarkan terguling di tanah. Saya terlalu malas untuk beranjak. Toh sekarang sudah musim mangga. Hampir tiap hari kami memakannya. Mulai dari dibuat jus, dibuat sarang lebah, atau dimakan bulat-bulat. Ini bukan kejadian langka. Maka ia cukup dilirik dulu saja. Sebagai seseorang yang suka menghubungkan segala sesuatunya dengan perasaan, saya jadi berpikir: “Barangkali, selama ini saya jatuh cinta seperti saya mencintai mangga. Cinta Pelok. Cinta biji mangga.”

Sesungguhnya kawan, ada yang mengerikan dari terlalu mencintai. Atau lebih sederhananya, ada sisi mengerikan dari segala sesuatu yang terlalu. Saat terhantam kata terlalu, seakan kau lupa bahwa disisimu selalu ada pintu. Tempatmu bisa keluar, menghirup udara segar, melemaskan otot leher dan berpikir: “Haruskah aku kembali atau bertahan di luar sebentar lagi?”. Si terlalu membuatmu hanya melihat jendela. Mengarahkan pupil matamu kesana. Ia mempengaruhi kinerja nebula. Membentuk gambaran bahwa keluar adalah hal yang merepotkan. Untuk keluar, kau perlu mengangkat rok cantik, menanggalkan sepatu hak tinggi, kemudian susah payah melipat badanmu yang kaku. Terlalu, menghilangkan opsi pintu. Membuat segalanya tampak makin rumit.

Bertahun-tahun, saya terbiasa melihat mangga jatuh. Membiarkannya bergulir dulu di tanah sebelum akhirnya tergerak untuk mengambil. Bertahun-tahun, saya terbiasa mengupas dan memotong mangga menjadi bagian-bagian kecil. Saking terbiasanya, amat jarang saya ikut menancapkan garpu ke potongan mangga tersebut. Lebih suka menggigiti daging mangga yang tertinggal di biji. Selain lebih asyik, juga lebih puas.

Ya, barangkali seperti itulah cara saya jatuh cinta. Cinta pelok. Cinta biji mangga. Mencintai dengan dalam, hingga ke intinya. Namun kerap lupa, bahwa mangga tetap punya daging. Mangga hanya mangga bila ia berdaging, bukan hanya berbiji. Cinta bukan cinta bila masakan dan setumpuk perbuatan manis dibalas dengan dingin. Cinta hanya cinta saat kamu tidak takut beradu argumen. Tidak peduli seberapa dalam kamu jatuh cinta, menerima ia hingga ke intinya. Ia tetap bukan cinta, bila salah satu diantara kalian, sakit.

Mulai besok, saya akan kembali mecoba menikmati daging mangga. Bukan hanya bijinya. Semoga segera, saya juga bisa kembali menikmati cinta. Bukan sekedar cinta pelok, cinta biji mangga.

Pemikiran Random

Hidup saya saat ini dipenuhi beberapa rutinitas: kuliah, Kampung Halaman, IIS, dan yang terbaru KUI. Maka beginilah cara saya mengatur waktu setiap hari. Pagi sampai jam 12 kuliah, selepas makan siang ke IIS bila diperlukan, sekitar jam 1 berpindah ke KUI sampai selepas Maghrib. Badha Isya saya mengumpulkan sisa tenaga untuk bersenang-senang di Kampung Halaman. Semua kegiatan ini membuat saya tak punya waktu untuk diri sendiri. Maka setiap akhir pekan, di kamar saya ada penjelmaan kepompong berselimut bed cover. Sabtu dan Minggu adalah waktu balas dendam untuk membayar jam tidur yang tersita tumpukan pekerjaan. Tapi untungnya, ada keluarga dan sahabat yang selalu jadi tempat pulang paling melegakan. Kelelahan ini untungnya tak hanya ditebus dengan jerawat yang makin bandel, tapi juga penghargaan terhadap waktu bersama.

Tulisan ini bukan soal sahabat atau keluarga. Ijinkan kali ini saya menulis narasi egois, tentang pemikiran yang berkecamuk belakangan.



Tahun Ketiga dan Kemandirian

Ini tahun ketiga saya kuliah. Bila dihitung normal, tahun depan insyaAllah saya sudah bisa lulus dari FISIPOL. Namun, ada satu yang mengganjal di hati. Apa iya saya rela lulus secepat itu? Apa yang sudah saya berikan untuk orang-orang di sekitar? Akhir-akhir ini, tengah terjadi pergeseran dalam sisi penetapan idealisme dalam otak saya. Pergeseran itu tercermin dari desakan kemandirian yang muncul. Tahun ini memang tahunnya pembaharuan. Mulai bulan Maret kemarin, saya memutuskan untuk mencoba mandiri secara finansial. Usia saya saat ini sudah 21 tahun, malu rasanya kalau terus meminta ke orang tua. Lagi pula sebentar lagi saya juga harus memasuki rimba kehidupan sesungguhnya. Mau tak mau, saat nanti tuntutan pekerjaan memaksa saya keluar dari rumah, artinya segala fasilitas rumah juga akan hilang. Karena itu sekarang saya belajar berhitung, paling tidak untuk mencukupi dan menabung bagi diri sendiri. Kasarnya, saya harus jadi pribadi yang mulai belajar prihatin.

Kegeraman Pribadi: Haus Ilmu

Semester ini saya tak jadi orang yang memasang target tinggi soal nilai. Nilai saat ini tak jadi lagi tujuan akhir. Ia hanya sekedar bonus. Omong kosong nilai tinggi, tapi pemahaman dan implementasi nol besar. Ada rasa haus ilmu yang menggelegak dalam diri. Saya masih merasa begitu kerdil. Selama ini barangkali saya terlalu nyaman berada di lingkungan yang saya kuasai. Akhirnya, akhir-akhir ini malam-malam saya lebih kerap dihabiskan untuk membaca buku yang memang ingin saya baca. Bukan lagi materi kuliah untuk besok. Saat ini, saya cenderung tidak peduli pada materi kuliah yang rasanya datar-datar saja. Terlebih kalau dosen yang mengampu memang tak mengikuti berita dan kolot. Terkadang, saya lebih memilih membaca buku yang saya bawa dari rumah dibanding mendengarkan ceramah dosen. Kadang saya geram, dosen ini punya kewajiban untuk memberikan ilmu. Tapi baca koran dan dengar pendapat saja ia tak mau.

Kegeraman itu juga terjadi dalam soal tulis-menulis paper. Beberapa dosen meminta dengan gamblang ada kutipan dan footnote dari sumber terpercaya. Bukankah otak dan logika: pemikiran, juga merupakan sumber terpercaya? Kenapa mahasiswa harus dibatasi mengembangkan pemikirannya? Duduk di bangku kuliah seharusnya bukan lagi pada tahap “berburu dan meramu”: berburu pemikiran, mengutipnya, meramu jadi satu tulisan. Tapi bagaimana mengembangkan logika pemikiran. Kampus berkewajiban mengembangkan ide-ide baru. Teori lama boleh dijadikan referensi, tapi jangan nilai tulisan kami dari berapa banyak sumber yang kami kutip. Didiklah kami men jadi satu pribadi dengan penemuan logika yang orisinal. Betapa sayang jika masa kuliah empat tahun hanya menghasilkan generasi F, Generasi Footnote.

*Kadang, saya ingin pindah jurusan kalau berbicara soal basis riset macam ini. Tiga tahun kuliah, kemampuan menulis ilmiah masih lemah :(*

Kegeraman lain yang juga kerap menggelitik adalah bagaimana sistem pendidikan ini ternyata membuat saya jadi manusia egois. Selama tiga tahun, hidup saya terkukung kewajiban kampus. Hampir tak ada waktu memberi untuk sesama. Yang ada di otak cuma pekerjaan, tenggat tugas yang harus diselesaikan, dan ujian. Padahal hidup tak hanya soal itu. Apa gunanya jadi orang pintar yang tak bisa mengajar? Apa gunanya jadi orang kaya yang tak berbagi? Saya belum jadi manusia yang memanusia.

Pilihan Hidup Memang Tak Bisa Bohong

Pada akhirnya, memang hidup itu soal pilihan dan keberpihakan. Di awal kuliah pilihan saya sempat bergeser ke arah kemapanan, namun kini hati kecil saya berontak. Didikan SMA 8 memang amat membekas. Saya yakin, hidup ini bukan cuma soal rumah bagus, mobil nyaman atau tabungan gemuk. Sebab sebaik-baik manusia bukanlah ia yang kaya atau cerdas semata, tapi ia yang bermanfaat bagi sesama.

Kalau begini, pantaskah saya berkeinginan cepat lulus saat masih belum ada bekal untuk memuliakan sesama?

Belajar Takut


“Jangan takut gagal” 

“Kenapa takut? Kamu pasti bisa!’


Semua kata-kata penyemangat itu sudah kerap mampir di telinga. Kian dewasa, kita memang makin dituntut untuk jadi pemberani. Lingkungan memaksa kita untuk menantang diri, mencoba semua hal baru dengan penuh nyali.

 

Tapi, apa yang salah dengan rasa takut?

Bukankah takut adalah hal paling manusiawi yang bisa dirasakan manusia? Bergandengan dengan rasa bahagia, takut selalu datang kapan saja. Kita kerap terlihat percaya diri, tapi takut salah saat presentasi. Yakin dengan peta di tangan, tapi dalam hati ndremimil takut kesasar. Patutkah si takut dihindari? Layaknya sesak tangis yang ditahan-tahan, ketidak mampuan untuk mengakui rasa takut kadang bisa jadi bisa bumerang. Bayangkan rasanya menahan tangis demi menjaga gengsi. Dadamu sesak, hidung sakit berair, mata pasti pedih penuh air mata. Barangkali, seperti itulah perasaan si takut yang selama ini disembunyikan. Ia juga butuh dilampiaskan, dikeluarkan habis-habisan. Agar tidak menyiksa. Bersahabat dengan rasa takut, hidup dengan sadar demi menyambut rasa takut datang. Itulah yang sekarang sedang saya pelajari. Memperlihatkan rasa takut, kecemasan – tidak berbanding lurus dengan mengekspos sisi lemah. Sebaliknya, mengakui rasa takut dan kecemasan justru membuat saya makin legawa mengatur kemampuan diri.

 

Cerita Tentang Toilet Training.

Analogi yang paling tepat untuk menggambarkan jadi kuat karena takut adalah balita yang sedang belajar toilet training. Pergi ke toilet secara berkala, kebutuhan dasar manusia sejak awal usia, pun membuncahkan rasa takut nan khawatir. Si balita akan merasa cemas saat rasa ingin buang air kecil datang. Ia takut tidak bisa tepat waktu sampai toilet. Takut mengompol sebelum berjongkok di jamban. Tapi apa yang ia lakukan? Apakah ia akan menolak rasa takut dengan mengabaikan rasa ingin buang air kecil? Buktinya tidak, seandainya iya pasti sudah banyak balita yang terkena infeksi saluran kencing (OOT) ;p. Balita ini akan melakukan sebuah tindakan manusiawi. Menerima rasa takut itu. Mengakuinya. Menyambut dengan sadar saat rasa ingin ke belakang muncul, menyambut dengan sadar momen takutnya, lalu berupaya segera berjingkat ke toilet sebelum terlambat. Ketakutan membuatnya belajar cara mengatur diri. Menerima kecemasan tidak melemahkannya, justru membuatnya tepat waktu dan makin cerdas. Sayangnya, sebagai manusia dewasa kita (atau lebih tepatnya, saya) ini makin penuh gengsi. Sok tidak takut pada apapun. Menghilangkan sisi manusiawi.

 

Bernafas dengan sadar. Menghirup semua rasa takut masuk. Mencerna. Membagi nya ke semua partikel tubuh. Melepaskannya.

 

Saya sadar saya takut menjelang presentasi. Takut kalau supervisor tanya macam-macam. Takut kalau tiba-tiba bahasa inggris belepotan. Ada juga takut kelebihan barang bawaan. Tapi juga khawatir kalau oleh-oleh kurang. Cemas saat terlambat masuk kuliah nanti. Takut dengan tugas-tugas. Takut, jangan-jangan nilai tidak keluar. Takut, bisakah dapat kelompok KKN? Saya takut menghadapi rencana jangka pendek.

 

Tubuh saya mengejang saat menjabarkan ketakutan-ketakutan itu. 3 detik. Tapi kemudian ia kembali mengendur, seakan berkata: “Terima kasih sudah jujur pada ketakutanmu. Kini, aku punya peta untuk melangkah maju.”


Belajar untuk takut, tidak lebih mudah dari belajar untuk berani.