Tidur dan Jatuh Hati (Lagi)

Kamu tercekat menemukannya berbaring nyaman. Rileks. Kamu bahkan lupa kapan terakhir kali melihatnya tanpa ketegangan. Belakangan, hubungan kalian sudah berubah jadi arena kompetisi. Kalian masih jatuh hati, tapi enggan mencintai tanpa tendensi.


Ia dengan kaus santai warna hitamnya. Lengannya panjang. Hatimu kelu mengingat fakta bahwa lengan kaus itulah yang kerap kau tarik manja. Saat ia tak mendengarkan pendapatmu. Lengan kaus itu panjang sebelah, tanda sisi itulah yang terlalu sering kau tarik. Ada desakan di dadamu. Instingtif, kau ingin berlari dan duduk di samping pembaringannya. Mengusap punggung tangannya. Tapi kakimu terpancang. Otakmu menolak perintah hati yang sudah berteriak kencang. Kamu merasa ini belum saatnya. Kamu masih terlalu takut untuk kembali mencintainya, seutuh-utuhnya. Maka malam ini, kamu berkompromi dengan dirimu sendiri. Proses belajar mencintainya akan kau mulai lagi dari satu titik ini. Mengulang jatuh cinta, pada tidur malamnya.

Ya, memandanginya tidur sudah menjadi hobimu. Wajahnya yang polos saat mulai terlelap adalah pemandangan manis di matamu. Pria yang keras kepala macam dia bisa terlihat damai. Membuatmu ingin tenggelam bersamanya. Hela nafasnya yang satu-satu. Tak seperti pria lain, pria mu ini tak punya hobi mendengkur. Desah nafasnya halus. Kamu betah berlama-lama menungguinya terbangun, demi mendengarkan tarikan nafasnya yang sarat nada ritmis. Racauan lucu dalam tidurnya juga membuatmu jatuh hati. Kamu menikmati perubahan mukanya, terkikik menyimak gumaman alam bawah sadarnya yang tak runtut.

Ia masih nampak lelap. Dan kamu kembali memandanginya lekat-lekat. Bibirnya yang tadinya terkatup rapat tiba-tiba sedkit terbuka dan membentuk huruf  “O”. Ah, itulah tanda ia telah jatuh pada titik lelap tertingginya. Dulu kau sering kesal saat ia sudah lelap macam itu. Guncangan bentuk apapun tak akan mampu membangunkannya. Esok harinya, kau kerap kena omel karena gagal membangunkannya sesuai jadwal liga sepak bola. Kau jadi pihak yang bersalah. Padahal ia yang tak bisa bangun dari mimpi indah. Tapi malam ini, kamu justru berharap ia lelap sepanjang-panjangnya. Kamu butuh waktu untuk mengamatinya. Membuka ruang hatimu untuk kembali mencintainya.

Ada desir di hatimu saat kau lihat kakinya menekuk. Posisi badannya kini setengah meringkuk. Mencari kehangatan. “Dasar ceroboh”, batinmu. Ini masih musim penghujan. Dan ia tidur dengan celana pendek, tanpa selimut. Tanganmu refleks meremas jaket tebal yang membalut bagian tubuh atasmu. Seandainya kamu punya keberanian untuk melangkah, dengan rela hati akan kau bentangkan jaketmu ini di atas betis telanjangnya. Kamu rela berlari-lari kecil sepanjang malam demi menghalau dingin. Asal ia bisa melanjutkan lelap terdalamnya.

Barangkali, karena kedinginan kini ia berpindah posisi. Memutar tubuh, membelakangimu. Hanya punggungnya yang bisa tertangkap dari jangkauan matamu. Punggungnya masih lebar. Itu punggung yang sama yang kerap kau tepuk untuk menenangkannya saat tersedak. Punggung yang sama yang kerap kau peluk dari belakang, untuk mengagetkannya. Malam ini punggung itu tampak bergetar. Ia batuk-batuk kecil. Kedinginankah? Sakitkah? Tak tahan mendengar vibrasi batuknya, kau putuskan berjingkat mendekatinya.

Memandanginya selekat ini. Keningnya sedikit berkerut menahan batuk. Kedua tangannya dilipat di depan dada. Seakan ingin menghalau hawa dingin di sekelilingnya. Kamu tak tahan. Kau lepaskan jaket tebal dari tubuhmu. Dengan kekhidmatan, kau ulurkan jaket itu ke dadanya. Meski kekecilan untuk ukuran badannya, paling tidak ia akan merasa sedikit hangat bila kau selimuti. Prosesi pembentangan jaket itu membuat tubuhmu bergetar menahan panas. Sekian lama kau tolak rasa, toh malam ini semesta mengatur rencana untuk menyadarkanmu. Bahwa wajah lelap dan batuk-batuk kecilnya masih bisa membuatmu cemas tak terkira. Kamu masih cinta.

Kau putar badan. Berniat membiarkannya tidur dengan hangat. Tiba-tiba tanganmu digenggam erat. Suara berat khas bangun tidurnya memenuhi rongga pendengaranmu. “Terima kasih. Jaketmu hangat. Tapi bolehhkah malam ini kau yang kupeluk erat?”


Kalau tak ingat malu, rasanya kau ingin menjerit kegirangan.

Kamu memang kedinginan. Malam ini bukan malam yang tepat untuk menolak sebuah pelukan.  

One thought on “Tidur dan Jatuh Hati (Lagi)”

Leave a comment