Kerat-Kerat Senja

“Sedang apa?”, pesan singkat dua kalimat khas kamu masuk ke ponselku.

Jariku dengan cepat mengetik balasan, “Masih kerja. Sebentar lagi selesai. Kenapa?”

Ponselku kembali bergetar seiring balasanmu datang, “Mau mengejar senja?”

“Boleh. Jemput 30 menit lagi ya.”

Tiga puluh menit kemudian, kamu sudah siaga di halaman depan kantorku. Menunggu dibawah pohon mangga yang alkisah digilai semut itu. Sedikit canggung, kuarahkan langkahku ke pintu mobilmu. Apa yang lebih aneh dari ini? Kita tidak pernah berjanji pulang bersama. Kamu tidak pernah menjemputku sebelumnya. Pulang dan mengakhiri hari selalu kita lakukan di dua tempat berbeda.

“Yuk”, ajakmu tak kalah canggung. Tanganmu hendak mendorong halus punggungku, namun kau urungkan. Gerak motorik dan otak belum sejalan. Haruskah memperlakukanku sebagai wanita atau teman? Misteri yang nampaknya tak akan kunjung terpecahkan.

Sore itu kamu mengajukan dua syarat. Pertama, aku harus diam. Dan sementara menutup mulut, berdandanlah sedikit. Sembari kau memutar setir, tanganku sibuk membuka dompet kecil berisi peralatan berdandan sederhana. Memanfaatkan cermin kecil di belakang penghalau matahari. Cukup kutempelkan kertas minyak dan sedikit pemulas bibir warna merah muda. Hampir setengah abad hidup, aku tidak juga naik tingkat dalam bidang memulas muka.

“Nah, disini. Turunlah” kau injak rem dan memberiku isyarat agar segera turun.
“Landas pacu?”, aku bertanya bingung.
“Ingat syarat pertamaku tadi apa?”
“Diam”
“Nah. Jangan banyak tanya”

Kuhempaskan pantat disebelahmu. Bersisian seperti ini terasa asing. Tidak ada debaran. Tidak ada keinginan untuk bermanja atau bersandar. Saat bersama, kita hanya ingin berdebat dan bicara. Kalau cinta harus melibatkan sentuhan fisik, maka kamu dan aku akan masuk golongan musyrik. Tapi tempat ini memang indah. Matahari yang makin merah bisa tertangkap dalam satu pandangan lurus. Garis cakrawala dengan tegas melahapnya. Kita memutuskan berbaring untuk mengkhidmati semburat jingga dan angin sepoi-sepoi yang terasa kering di muka.

“Kamu sudah puas?”, tiba-tiba kamu memalingkan muka dan bertanya.
Puas?”
“Iya. Sudah puas belum mencoba semuanya? Jatuh cinta, patah hati, jadi remaja dan anak kecil lagi?”
“Haha”, tawaku getir. “Sesungguhnya saking puasnya aku sudah malas jatuh cinta”

Kita diam. Berbaring dan menutup mata. Ini momen solidaritas sesama penggiat patah hati. Kamu dan aku sama-sama tahu cinta tidak pernah bisa dilumat, dihilangkan rekam jejaknya. Sekali ia datang, ia tidak akan kemana-mana. Patah hati, tidak setara dengan tak lagi cinta.

“Aku juga sudah malas jatuh cinta”, katamu pelan. “Kalau boleh, aku ingin menelanmu seperti senja”
“Metafor apa itu?Haha, gila.”
Aku cuma mau menelanmu seperti senja. Meraup habis ego dan sinarmu di garis cakrawala”
Ada dua detik jeda sebelum kutimpali pernyataanmu dengan getir, “Barangkali tidak ada lagi yang bisa kau raup. Aku sudah memberikan semuanya pada senjaku sebelumnya.”

Hela nafas jadi musik ritmis pengiring hilangnya matahari dari pandangan kita. Untuk sesaat, jingga jadi warna paling egois yang memenuhi bola mata.

“Aku ingin bisa selalu mengerat senja berdua.”
“Masih banyak senja yang lebih merah. Kamu pantas mendapatkannya.”
“Kamu sudah cukup silau dan membuatku sakit mata, kok”
“Berapa lama kita kenal, sih? Aku sudah hapal semua kalimat klisemu.”
“Kalau sedang jual mahal begini, kamu hanya sedang ingin diperjuangkan. Iya kan?”
“Haha, gila kamu!”

“Dengar saya”

Dengan gerak tangan canggung kamu memutar kepalaku. Frontal menghabisi gerak mataku. Saat “aku” jadi “saya”, itu artinya kamu tidak main-main.

“Saya ingin selalu mengerat senja berdua. Tidak peduli kamu masih merah muda atau sudah merah bata, walaupun kamu tidak pernah bisa berdandan, dan entah besok kita bisa bercinta atau tetap sebatas bicara. Ijinkan saya jadi egois. Saya hanya ingin menelanmu bulat-bulat seperti senja.”
“Tapi kamu tidak pernah mencintai saya”, kutimpali kamu dengan sebuah fakta pahit.

Tanpa kusangka, kamu bangun dari posisi berbaringmu. Menatapku serius lalu menyambarku dengan rentetetan kata tanpa jeda.

“Kalau cinta itu keinginan mengantarkanmu kemana-mana, berdua terus, makan bersama, menyebutmu sayang atau semacamnya. Maka iya, aku memang tidak pernah jatuh cinta padamu. Tapi aku ingin kamu menerima gajiku, mencukupkan uang yang tak seberapa itu. Aku mau melihatmu ceriwis bercerita di supermarket saat kita berjalan mendorong trolley. Aku mau kamu jadi sebaik-baik wanita, setelah kita sepakat menjalani seluruh senja bersama.”

Setelah jatuh cinta, aku selalu jadi bergantung dan menyebalkan”, jawabanku makin jauh dari sasaran.

Kamu menghela nafas dan kembali berbaring. Sekeliling kita sudah makin gelap. Lampu kota dan kerlip lampu mobil dibawah sana jadi satu-satunya sumber cahaya.

Katanya suka baca. Aku ingin menelanmu bulat-bulat seperti senja. Harusnya kamu paham dong maknanya”, timpalmu gemas.

“Haha iya-iya. Paham. Eh, senja kita masih lama sekali ya datangnya?”
“Setengah warsa. Aku juga tidak ingin lama-lama. Niat baik semoga ada jalannya”

Aku tersenyum. Kamu masih tetap cuek berbaring dan menikmati hembusan angin. Pasti punggung kemejamu sudah penuh kerutan.

“Besok, kita namai apapun yang lahir atau terbeli pertama dengan senja ya?”

5 thoughts on “Kerat-Kerat Senja”

Leave a reply to ocha Cancel reply